Yogya Menggugat Referendum, Kenegarawanan SBY Dipertanyakan
Pernyataan Presiden Yudhoyono tentang Monarkhi di Pemerintahan Daerah Istinewa Yogyakarta (DIY), mengundang kontroversi yang cukup memanaskan suhu politik dalam negeri.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terburu meluncurkan bola panas yang menyebut istilah monarkhi. Sebelumnya, sejumlah kalangan masyarakat Yogyakarta berharap sistem monarkhi yang dianut Keraton Yogyakarta terus dilestarikan.
Akibat pertentangan tersebut, situasai politik terutama di DIY, sangat panas. Sri Sultan Hamengubuwonwomenyatakan perlu dilakuan referendum bagi rakyat Yogya bila Pemerintah Pusat memaksakan kehendak untuk memberlakukan sistem demokrasai (baca Pemilukada) sama dengan provinasi lain.
Banyak reaksi dan dukungan dari warga dan para pemuka masyarakat yang mendukung referendum oleh Sri Sultan Yogya, termasuk dari Pemda Kabupaten, lurah, mahasiswa dan unsusr-unsur masyarakat lainnya, termasuk dari luar Jawa. Di Kota Gudeg itu saat ini banyak spanduk yang menuntut untuk diadakan referendum, bahkan sudah ada unsur masyarakat Yogya yang ingin “merdeka”, seperti Timor Timur.
Pernyataan Presiden SBY ini menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai sense ofleadership, tidak ada jiwa kepemimpinan dan kenegarawan sebagai Kepala Negara. SBY juga, tampak jelas tidak memahami arti keistimewaan dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Presiden SBY: Yogyakarta Tidak Mungkin Anut Sistem Monarkhi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan sistem yang akan dianut dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak mungkin monarkhi.
Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun konsep keistimewaan Yogyakarta dalam Undang Undang Keistimewaan DIY. “Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” kata Presiden dalam sambutan pembuka rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jumat (26/11).
Menurut Presiden, Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu, nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Selain itu, ada perangkat sistem nasional atau keutuhan, juga keistimewaan, yang harus kita hormati di Yogyakarta dan implemenatasi nilai demokrasi untuk negeri. Hal ini secara implisit tercantum dalam UUD 1945.
Sultan Mempertanyakan Sistim Monarkhi Ala SBY
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menegaskan akan mempertimbangkan kembali jabatannya sebagai gubernur saat ini. Pernyataan tersebut menyusul pernyataan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono soal keistimewaan DIY, bahwa tidak mungkin ada sistem monarkhi yang bertabrakan dengan sistem kosntitusi dan nilai demokratis yang disampaikan pada tanggal 26 November 2010 lalu.
“Kalau sekiranya saya ini dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya saat ini, ya akan saya pertimbangkan kembali,” kata Sultan di hadapan wartawan di Kepatihan, Sabtu (27/11).
Sultan pun menolak untuk menjelaskan lebih lanjut pernyataannya. Bahkan menyerahkan kepada semua pihak untuk menafsirkannya. “Mangga, terserah cara menafsirkannya saja, karena semua ini keputusan politis. Yang disampaikan Presiden juga pendapat politis,” kata Sultan.
Sultan mempertanyakan sistem monarkhi yang disampaikan Presiden. Sultan pun membeberkan fakta-fakta. Bahwa pemerintah provinsi DIY, menurut Sultan menggunakan sistem yang sama seperti pemerintah provinsi lainnya, yakni berdasarkan konstitusi UUD 1945, UU, dan peraturan perundangan lainnya.
Sultan Menyerahkan ke Rakyat
Sri Sultan Hamengku Buwono X enggan mengkomentari pernyataan Presiden Susilo Yudhoyono tentang bentuk monarki dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.
Disela-sela acara “Pencanangan Penanaman Pohon Trembesi ” di Kulon Progo mengatakan, dirinya hanya berbicara sekali, dan menyerahkan nasib keistimewaan kepada rakyat Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. “Pernyataan saya sudah cukup, nanti saya dianggap banyak komentar. Saya bicara cukup satu kali, dan saya serahkan sepenuhnya kepada rakyat,” katanya, Selasa 30 November 2010.
Sultan HB X mengatakan, RUUK akan terus melihat aspirasi masyarakat kalau RUUK tidak sesuai dengan hati rakyat Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat. “Nanti lihat dulu hasil keputusan RUUK, pasti nanti ada perubahan,” katanya.
Terkait berbagai kelompok masyarakat salah satunya paguyuban lurah se-DIY yang akan menggelar sidang rakyat, dirinya juga enggan berkomentar. “Saya tidak komentar, saya tutup mulut,” katanya.
Sebelumnya, Bupati Kulon Progo, Toyo S. Dipo, akan mempelajari Maklumat 5 September 1945, dan surat dari Presiden RI tentang Kedudukan istimewaan Yogyakarta terkait dengan Rancangan Undang-undang Keistimewaan yang dibahas DPR RI. Menurut dia, berdasarkan informasi yang diperoleh, warga kabupaten Kulon Progo ini banyak yang mendukung penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi ini untuk periode mendatang.
“Kalau gubernur tidak ditetapkan, apa bedanya ada kata istimewa dengan tidak istimewa, tentu harus dipahami sejarah bergabungnya Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu,” katanya.
PDIP: Salah Alamat
Kalangan pimpinan Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI menilai, tuduhan monarkhi kepada Daerah Istimewa Yogyakarta benar-benar salah alamat dan perlu diklarifikasi.
“Yah, bagi kami, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai adanya sistem monarkhi di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia terkait posisi Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dinilai salah alamat,” tandas salah satu pimpinan Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI, Aria Bima, atas nama fraksinya, di Jakarta, Selasa (30/11).
Ia menambahkan, memang benar Indonesia tidak mengenal lagi sistem monarkhi, karena bentuk negara adalah republik, bukan kerajaan. “Tetapi kami menilai pernyataan itu salah alamat. Pasalnya, jabatan Sultan (Raja) Yogya yang disandang Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X hanya bermakna budaya atau tradisi. Tegasnya, gelar sultan tidak memiliki kekuasaan yang nyata seperti raja dalam sistem kerajaan atau monarkhi,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, dalam sistem monarkhi konstitusional seperti Malaysia atau Inggris pun, raja atau sultan tidak memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan. “Raja hanya menjadi kepala negara yang lebih bermakna simbolis. Lalu, ada pun Sultan HB X sekaligus menjadi gubernur karena terkait status Keistimewaan DIY dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pendukung utama NKRI pada masa awal kemerdekaan,” katanya.
Walaupun begitu, demikian Aria Bima, Sultan HB X sebagai gubernur tetap tunduk kepada Pemerintah Pusat atau Presiden, dan hanya menjadi kepala pemerintahan provinsi, bukan mengepalai sebuah kerajaan. “Ihwal kaitan Sultan dengan Kraton Yogyakarta hanya bermakna secara budaya atau tradisi,” katanya.
Aria Bima menjelaskan, sesuai status DIY sebagai daerah istimewa, tidak masalah gubernur DIY tidak dipilih langsung, melainkan ditetapkan oleh DPRD Provinsi DIY atau Pemerintah Pusat. “Hal itu bukan berarti melanggar prinsip demokrasi, karena para walikota di Provinsi DKI Jakarta pun tidak ada yang dipilih melalui Pilkada, karena Jakarta menyandang status daerah khusus atau keistimewaan tersendiri,” jelasnya.
Selain itu juga, lanjutnya, ini tidak melanggar konstitusi, karena Pasal 18A ayat 1 UUD 1945 menghargai kekhususan dan keragaman daerah. “Seperti dalam kasus otonomi khusus Papua atau penerapan syariat Islam dan pembentukan partai-partai lokal di Aceh. Satu-satunya keistimewaan DIY yang diberikan oleh negara, ya dalam penetapan gubernur dan wakil gubernur, yang masing-masing otomatis dijabat oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam,” ujarnya.
Aria Bima menambahkan, pihaknya menilai, jika hal ini akan dihapus Presiden Yudhoyono, sama saja dirinya mengingkari sejarah dan tidak menghargai jasa rakyat dan Kraton Yogyakarta dalam fase pembentukan NKRI.
Tolak Istilah Monarkhi, Seniman Yogya Ngasah Keris
Para seniman tradisi di Yogyakarta menolak istilah monarkhi yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami jelas menolak istilah monarki yang diungkap oleh presiden, Yogyakarta sudah demokratis sebelum bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Wisben Antoro, seniman lawak Yogyakarta di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa (30/11).
Para seniman yang bergabung dalam Forum Komunikasi Seniman Tradisi Yogyakarta tersebut menolak adanya undang-undang keistimewaan yang justru akan memecah belah warga Yogyakarta. Dengan adanya pemilihan kepala daerah atau gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta justru dianggap akan menimbulkan perkara baru. Ambisi saling rebut kekuasaan dan ujung-ujungnya perpecahan warga Yogyakarta.
Para seniman, kata Wisben, akan melakukan unjuk gigi dengan menggelar seni jalanan dengan tujuan mendukung keistimewaan Yogyakarta. Salah satunya adalah dengan penetapan Gubernur yang dijabat Sultan dan wakilnya adalah Paku Alam. “Saya sudah mengasah keris, keris itu akan saya bawa ke Jakarta, untuk menunjukkan bahwa warga Yogya setia kepada Sultan,” ujarnya. “Bukan monarki seperti yang disebut oleh presiden, tetapi kami demokratis juga karena ini kehendak rakyat”.
Seniman lainnya Bondan Nusantara, sebagai penggagas forum seniman tradisi mengungkapkan, tidak ada sistem monarki di Yogyakarta. Ia menolak niat buruk kekuasaan pemerintah pusat yang ingin meluluhlantakkan keistimewaan Yogyakarta, yaitu undang-undang keistimewaan yang bukan berakar dari rakyat Yogyakarta. “Jika undang-undang keistimewaan itu akan memecah belah rakyat Yogyakarta, berarti juga akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Bondan.
Ia mengaku, sudah mendapatkan dukungan dari berbagai daerah soal penolakan keras terhadap Rencana Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta yang akan disahkan, dengan salah satu isinya pemilihan kepala daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bondan menambahkan, selama kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwowo, baik Sultan ke IX maupun ke X, tidak pernah merugikan rakyatnya. Sultan yang menjabat gubernur dan Paku Alam yang menjadi wakilnya bisa menjadi panutan rakyat.“Kami ini demokrasi yang berdasarkan kultural, bukan demokrasi yang justru memecah belah,” kata dia.
Sultan dan Masyarakat Yogya Ingin Referendum
Sultan Hamengkubuwowno menginginkan referendum dalam pengisian jabatan kepala daerah merupakan reaksi dari ketidak-pekaan pemerintah dalam menyerap aspirasi rakyat. Pemerintah dinilai tidak tanggap menyerap aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Masyarakat Yogyakarta menginginkan referendum sebagai satu jalan keluar atas polemik suksesi kekuasaan di Daerah Istimewa Yogyakarta menyusul terganjalnya Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY yang hingga kini belum ada kemajuan. Sebagian menginginkan referendum sebisa mungkin bukan untuk pemisahan diri dengan NKRI, namun sebagian menyatakan jika itu jalan terakhir, maka referendum perlu dilakukan.
“Referendum setuju banget. Karena melihat ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan RUUK, tidak ada salahnya sebagai bukti kemauan rakyat Jogja maka diadakan referendum,” kata Blasius Haryadi, pengayuh becak di Malioboro, kepada Tempo, Selasa, (30/11). Pelaksanaan referendum ini menurut Haryadi guna menyelesaikan polemik antara pemerintah pusat dan pemerintah DIY mengenai suksesi di DIY. Pemerintah pusat menilai demokrasi harus dilakukan melalui pemilihan langsung untuk menentukan jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Dengan hasil referendum itu maka akan memberikan bukti dan fakta mengenai kemauan masyarakat Yogyakarta. “Jangan-jangan itu hanya kemauan Sultan sendiri, maka mari kita buktikan rakyat Jogja maunya apa,” katanya. Meski begitu, Haryadi berharap referendum sebagai jalan keluar terakhir bagi pemerintah DIY. Dia juga berharap referendum yang dilakukan seperti yang terjadi di Timor Leste.
Tri Haryanto, warga Yogyakarta lainnya berharap sebisa mungkin referendum sebagai jalan keluar terakhir. Meski begitu, jika tak ada jalan lain, Tri mengaku menyetujui referendum. “Saya sih berharap itu hanya sebatas wacana, tapi kalau memang harus dilakukan saya setuju, potensi Jogja bagus untuk dikembangkan kok,” katanya mantap.
Tri mengaku mangkel dengan tudingan monarkhi yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggapnya melukai rakyat Yogyakarta. “Apalagi itu dilontarkan saat Jogja masih terkena bencana, kok tidak memikirkan perasaan rakyat Jogja,” katanya.
Sebagai warga Jogja, Tri mengatakan Pilkada tak perlu diterapkan di Yogyakarta yang menyandang predikat keistimewaan. Apalagi menurut Tri, Pilkada pada prakteknya lebih di dominasi politik uang.
Aulia Zaki, warga Purworejo yang kuliah di Yogykarta berharap referendum untuk memisahkan diri dari NKRI tidak terjadi. Hanya saja, dia menggarisbawahi, rakyat Yogyakarta-lah yang berhak menentukan nasib mereka sendiri. “Bukan pemerintah pusat,” katanya.
Senada dengan Aulia, Aulia mengaku menyetujui penetapan untuk jabatan gubernur ddan wakil gubernur. “Karena selama ini kepemimpinannya memang mengayomi rakyat Jogja, saya sangat kagum,” katanya. Aulia mengaku gemas dengan pernyataan SBY yang mengatakan adanya monarkhi yang bertabrakan dengan demokrasi.
Kepala Desa dan Dukuh di Yogyakarta Dukung Referendum
Para perangkat desa di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tergabung dalam Parade Nusantara mendukung referendum dalam penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur.
“Yang jelas kami menyatakan referendum itu merupakan proses demokratisasi juga, apapun hasilnya, itulah yang dikehendaki rakyat,” kata Rustam Fatoni, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Parade Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (30/9).
Organisasi yang menampung lurah, pamong desa dan lembaga kemasyarakatan desa itu juga akan menggerakkan warga supaya mendukung langkah-langkah Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gerakan tersebut, kata dia, merupakan reaksi dari molornya Rencana Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta yang hingga jabatan gubernur diperpanjang belum disahkan.
“Penetapan jabatan Kepala Daerah DIY merupakan aspirasi kami, ini juga merupakan bentuk keterbukaan masyarakat Yogyakarta, seharusnya pemerintah pusat mengakomodir itu,” kata Rustam yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Jambitan, Banguntapan, Bantul.
Sementara itu, Paguyuban Dukuh Kabupaten Bantul juga secara tegas mendukung adanya referendum. Sejak diajukannya RUUK, paguyuban itu konsisten mendukung adanya penetapan kepala daerah untuk menentukan jabatan gubernur/wakil gubernur, yaitu Sultan yang jumeneng sebagai gubernur dan Paku Alam menjadi wakil gubernur.
“Kami bertekad, Sultanku gubernurku, Paku Alam wakil gubernurku, mereka adalah benteng keistimewaan Yogyakarta,” tegas Sulistio Atmojo, Ketua Paguyuban Dukuh, Kabupaten Bantul.
Ia mengakui paguyubannya telah didukung oleh paguyuban pegadang, nelayan, tukang becak maupun paguyuban lainnya yang mendukung dilakukannya penetapan untuk mengisi jabatan kepala daerah.
Sumber : http://politik.kompasiana.com
0 komentar:
Post a Comment